بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
SURAH YÂ SÎN
JANTUNG AL-QURAN
Bab 49
Keistimewaan Latar Belakang
kelahiran Maryam Binti Imran
Oleh
Ki Langlang
Buana Kusuma
Dalam Bab-bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai
hakikat peningkatan keruhanian yang dialami hamba-hamba Allah dari tingkat keruhanian Maryam binti ‘Imran menjadi tingkat keruhanian Isa Ibnu Maryam a.s.,
di mana telah dijelaskan pula bahwa yang menjadi guru atau mursyid pada
tingkat keruhanian Maryam bin ‘Imran
bukan lagi guru-guru berupa manusia
melainkan Allah Swt. Sendiri yang
menjadi “Guru” atau “Mursyid” mereka.
Ada pun “pengajaran”
yang diberikan Allah Swt. digambarkan dalam Al-Quran berupa “peniupan ruh-Nya” kepada Maryam binti ‘Imran, sehingga
sebagaimana secara jasmani pada diri
(rahim jasmani) Maryam binti ‘Imran
terjadi kehamilan, demikian
juga dari segi ruhani pun dalam jiwa
(rahim hati) hamba-hamba Allah Swt. seperti itu terjadi kehamilan ruhani, yang keadaannya semakin sempurna sebagaimana
halnya perkembangan janin dalam rahim
ibu.
Riwayat kelahiran
Maryam binti ‘Imran
Firman Allah Swt. mengenai riwayat kelahiran Maryam binti ‘Imran berikut ini
mengisyaratkan kepada adanya “pengajaran” langsung Allah Swt. kepada Maryam binti ‘Imran atau hamba-hamba Allah yang telah mencapai
tingkatan ruhani Maryam binti Imran,
firman-Nya:
اِذۡ قَالَتِ
امۡرَاَتُ عِمۡرٰنَ رَبِّ اِنِّیۡ نَذَرۡتُ لَکَ مَا فِیۡ بَطۡنِیۡ مُحَرَّرًا
فَتَقَبَّلۡ مِنِّیۡ ۚ اِنَّکَ اَنۡتَ السَّمِیۡعُ الۡعَلِیۡمُ ﴿﴾
Ingatlah, ketika perempuan (istri) ‘Imran
berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya
apa yang ada dalam kandunganku aku bebaskan sebagai nazar bagi Engkau,
maka terimalah
dia dariku, sesungguhnya Engkau
benar-benar Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.” (Ali ‘Imran) [3]:36).
Muharrar berarti: yang dibebaskan; anak yang dipisahkan dari
segala urusan dunia dan diserahkan oleh orangtuanya untuk berkhidmat kepada
rumah peribadatan (Lexicon Lane
& Al-Mufradat ).
Telah menjadi kebiasaan pada kaum Bani
Israil bahwa orang-orang yang dibaktikan
untuk mengabdi kepada rumah peribadatan selamanya tidak menikah
(Injil Mariam 5:6 dan Bayan 3:36).
Nazar ibunda
Maryam binti 'Imran nampaknya diucapkan karena pengaruh golongan
Essenes, yang pada umumnya sangat dimuliakan oleh orang-orang pada masa itu
dan biasa menjalani hidup membujang
seumur hidup dan mengasingkan perempuan-perempuan dari keanggotaan mereka dan mewakafkan
kehidupan mereka untuk berbakti kepada
agama dan sesama manusia (Encyclopaedia
Biblica & Jewish Encyclopaedia).
Sangat menarik hati adalah bahwa ajaran
Injil Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. banyak persamaannya dengan ajaran golongan Essenes itu. Jelas pula
dari arti kata muharrar bahwa ketika sedang mengandung Maryam
binti ‘Imran, ibunya telah bernazar
mewakafkan anaknya untuk mengkhidmati
rumah peribadatan, dan dengan
demikian ia berniat supaya anaknya tidak
akan menikah,hal demikian menunjukkan bahwa Maryam
binti ‘Imran dimaksudkan supaya termasuk ke dalam golongan padri.
Itulah sebabnya mengapa di tempat
lain dalam Al-Quran, Maryam binti ‘Imran disebut saudara perempuan Nabi Harun a.s. dan tidak
dikatakan saudara perempuan Nabi Musa a.s., meski pun kedua rasul Allah tersebut saudara kandung, sebab Nabi Musa a.s.
adalah rasul Allah pembawa
syariat Yahudi, sedangkan Nabi Harun a.s. itu imam
golongan kepadrian Yahudi (Encyclopaedia Biblica; Encyclopaedia
Britannica, di bawah kata Aaron).
Melahirkan “Bayi Perempuan”
Nazar istri ‘Imran tersebut bukan tanpa alasan yang sangat mendesak,
yaitu ia sangat bersedih hati melihat keadaan kemunduran
akhlak dan ruhani kaumnya -- khususnya para pemuka agama Yahudi (ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi)
-- sebagaimana dikemukakan dalam kecaman keras Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. (Matius 23:1-36), sehingga ibu yang shalihah tersebut
menazarkan bayi yang masih dalam
kandungannya, karena ia menganggap bahwa bayi yang akan dilahirkannya itu
adalah bayi-laki-laki, tetapi kenyataannya ia melahirkan seorang bayi perempuan, sehingga ia merasa sedikit kecewa,
firman-Nya:
فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ
رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ
اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا
مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ
ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ الرَّجِیۡمِ
﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia
berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan
anak lelaki yang
diharapkannya itu tidaklah sama baiknya
seperti anak perempuan ini; dan
bahwa aku menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari
syaitan yang terkutuk.” (Ali
‘Imran) [3]:37).
Karena sangat berhasrat untuk dikaruniai seorang anak laki-laki,
ibunda Siti Maryam bernazar hendak mewakafkan anak itu untuk berbakti
kepada Tuhan, tetapi dalam kenyataannya seorang
anak perempuanlah yang telah lahir sehingga
dengan sendirinya ibu yang shalihah tersebut menjadi bingung.
Kata-kata: Allah lebih mengetahui apa yang
dilahirkannya, merupakan kalimat sisipan yang diucapkan oleh Allah Swt. secara sambil lalu, sedangkan
kata-kata berikutnya: Anak lelaki itu tidaklah sama seperti anak perempuan dapat dianggap diucapkan oleh Allah Swt. atau diucapkan oleh ibunda Siti Maryam.
Besar kemungkinan kata-kata itu diucapkan oleh
Allah Swt. dan berarti,
seperti dalam teks terjemahan, bahwa anak
perempuan yang dilahirkan beliau itu lebih
baik daripada anak laki-laki yang
diharapkannya. Tetapi jika dianggap diucapkan oleh ibunda Maryam binti ‘Imran, kata-kata itu
berarti bahwa anak perempuan yang
dilahirkan olehnya itu tidak bisa menjadi seperti anak laki-laki yang diinginkannya, karena (dia beranggapan)
hanya anak laki-lakilah yang cocok
untuk menunaikan bakti istimewa itu
dan beliau ingin mewakafkannya.
Makna Kata “Maryam”
Anak kalimat aku menamainya
Maryam, mengandung doa kepada Allah
Swt. secara tidak langsung, untuk menjadikannya seorang anak perempuan yang
mulia dan baik serta shalih, seperti nampak dari arti kata Maryam
(yakni mulia atau seorang ahli ibadah
yang saleh).
Maryam binti ‘Imran adalah ibunda Nabi Isa ibnu Maryam, beliau mungkin diberi nama yang sama
dengan saudara perempuan Nabi Musa
a.s. dan Nabi Harun a.a., yang dikenal dengan nama Miriam. Kata itu, yang adalah kata majemuk
dalam bahasa Ibrani, berarti: bintang laut; nyonya atau perempuan bangsawan; mulia; ahli ibadah yang saleh (Cruden’s Concordance; Kasysyaf; dan Encyclopaedia
Biblica).
Kalimat
doa istri ‘Imran: “dan sesungguhnya aku memohon
perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya
dari syaitan yang terkutuk“, kata-kata itu menimbulkan sedikit
kesulitan. Bila ibunda Maryam
binti ‘Imran berniat mewakafkan anaknya untuk berbakti kepada
Tuhan, pasti beliau telah mengetahui
bahwa anaknya tidak akan menikah seumur
hidup.
Jika demikian, maka apakah
artinya memanjatkan doa untuk keturunan
sang anak itu? Penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa Allah Swt. telah mengabarkan kepada beliau dalam sebuah kasyaf (penglihatan ruhani) bahwa anak perempuannya itu akan
tumbuh hingga dewasa dan akan melahirkan seorang anak, dan atas berita dari Allah Swt. itu beliau mendoa
agar putrinya, Maryam
binti ‘Imran serta anak yang akan dilahirkannya nanti dikaruniai
perlindungan Ilahi dari syaitan yang
terkutuk.”
Namun demikian
beliau nampaknya telah menyerahkan hari
depan Maryam binti ‘Imran ke Tangan
Ilahi dan mewakafkannya,
sebagaimana diniatkannya semula untuk mengabdi kepada Allah SWt. (QS.3:36; Injil Kelahiran Siti Maryam). Hal itu tentu saja merupakan
suatu kekecualian, sebab hanya laki-laki sajalah yang dapat dipilih
untuk bakti demikian. Dugaan bahwa
ibunda Siti Maryam menerima kasyaf
mengenai anak perempuannya akan melahirkan seorang laki-laki, tercantum dalam Injil
Maryam (3:5), meskipun mungkin
dalam bentuk yang agak lain.
Latar Belakang Kelahiran yang Istimewa
Tidak ada sesuatu yang luar biasa
mengenai doa Hanna (ibu Maryam binti
‘Imran) yang ingin agar putrinya itu serta keturunannya
terpelihara dari pengaruh syaitan.
Semua orang tua mendambakan hal seperti itu untuk anak-anak mereka dan mendoa
agar mereka itu dibesarkan untuk menempuh kehidupan
yang baik lagi lurus. Baik juga
dicatat, meskipun Islam menyatakan bahwa semua nabi Allah selamat dari pengaruh syaitan, namun Bible tidak menganggap perlindungan itu dinikmati Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. (Markus 1:12,
13).
Rajim diserap
dari kata rajama artinya: (1)
orang yang diusir dari hadirat Ilahi dan kasih-sayang-Nya, atau orang terkutuk;
(2) ditinggalkan dan dibiarkan seorang diri; (3) dilempari dengan batu; (4)
mahrum (luput) dari segala kebaikan dan
kebajikan (Lexicon Lane).
Dengan demikian jelaslah bahwa kelahiran
Maryam binti ‘Imran memiliki latar
belakang yang sangat istimewa,
dan kenapa Allah Swt. pun telah menjadikannya sebagai misal orang-orang yang beriman, yang keadaan ruhaninya lebih tinggi dari orang-orang beriman yang dimisalkan
“istri Fir’aun” yang shaleh
(QS.66:11-13).
(Bersambung).
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
“Pajajaran
Anyar”, 28 Ramadhan 2012
Ki Langlang Buana Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar